Pages

  • MENANTI SESEORANG
    "Jangan terburu-buru dengan cinta. lebih baik menunggu seorang yang tepat bagi hidup selamanya daripada hanya sementara"

Minggu, 14 Juni 2015

Cerpen Kenyataan Seindah Mimpi

 
“Apa yang sedang kalian lakukan saat ini adalah ramalan yang akan menjadi kenyataan dimasa depan nanti, maka tentukanlah masa depan kalian dari sekarang.” Ucapan seorang guru yang terus terpikir dan rasa tak pasti yang mendatangkan resah bagi seluruh anak didiknya yang telah bersiap membuka selembaran kertas kelulusan.


“Ingat nak, kamu pasti bisa.” Kata Ibu dan Ayahnya itu yang selalu menusuk rongga dadanya. Disaat seperti ini kata tersebut yang selalu teringat dan membuatnya terus percaya diri, karena ia yakin bahwa kedua orangtuanya selalu memberi dukungan dan doa untuknya. Ryan namanya seorang siswa kelas tiga sekolah menengah atas yang sedang bersiap membuka surat kelulusan dengan penuh ragu dan rasa takut akan keinginan Ayah dan Ibunya tidak dapat ia penuhi. Di tempatnya, keluarga Ryan merupakan keluarga yang hidup pas-pasan, ayahnya bekerja sebagai buruh bangunan dan ibunya hanya seorang ibu rumah tangga yang terkadang menyibukkan waktu luangnnya untuk mengais rezeki dengan menjadi  buruh cuci. Penghasilan kedua orangtuanya yang tidak menentu membuat segala pembayaran di sekolah sering menunggak, karena itu lulus dari SMA adalah harapan pertamanya,  ia ingin menghapuskan rasa lelah kedua orangtuanya dalam membiayai pendidikannya.

Suasana lapangan sekolah semakin sunyi dan para siswa tidak henti-hentinya memanjatkan doa.

“Seluruh anak didikku, sebelum kita membuka hasil kelulusan, sebaiknya kita berdoa terlebih dahulu, agar kita di berikan hasil yang memuaskan dan diberikan kesabaran, jika hasil yang kita dapat tidak sesuai harapan.” Kata seorang guru kepada muridnya yang membuat suasana semakin haru dan tegang. “Baik, dalam hitungan ketiga mari kita buka sama-sama surat kelulusannya,” jelas seorang guru itu sambil menghitung mundur. Semua siswa bersiap membuka hasil kelulusannya dengan perlahan.

“Aku bisa, aku bisa, lulus, lulus, bismilah,” ucap Ryan dalam hati sembari membuka surat kelulusannya dengan tangan bergetar dan penuh harapan. Perlahan ia membuka surat itu dan hanya tulisan hitam tebal yang ia perhatikan. “Lulus, Alhamdullilah, Lulus!” kata Ryan dengan kaget dan penuh gembira, semua teman-temannya saling mengucapkan selamat satu sama lain disertai sorak, tawa, gembira, haru, dan sedih menyatu di lapangan itu. “Akhirnya, impian pertamaku terwujud,” ucap Ryan dengan penuh syukur dan bahagia.

Kegiatan kelulusan di sekolah pun berakhir, seluruh siswa bersalaman dengan semua guru pengajar. Setelah pulang sekolah sebagian siswa merayakan kelulusan dengan mencoret-coret seragam SMA mereka. Berbeda dengan Ryan, ia memilih segera bergegas pulang, ia ingin sekali menyampakain kabar gembiranya itu kepada kedua orangtuanya.

Sesampainya di depan rumah, ia dengan penuh percaya diri mengucapakan salam dan mengetuk pintu, sedangkan Ayah dan Ibunya sedang asik ngobrol di ruangan depan.

“Assalamualaikum,” kata Ryan sambil tidak sabar siapa orang pertama yang menjawab salam dan mendengar kabar gembiranya.

“Wa’alaikumsalam,” jawab seorang perempuan yang tidak lain ialah Ibunya sambil membukakan pintu.

“Eh, udah pulang nak, kok baru datang udah senyum-senyum sih?” tanya Ibunya sambil tersenyum heran dan menyuruh Ryan duduk.

“Hehe, ia Bu, soalnya hari ini kan pembagian hasil kelulusan,” jawab Ryan dan langsung mencium tangan Ibu dan Ayahnya.

“Terus gimana hasilnya nak?” tanya Ibu dengan penasaran.

“Alhamdulilah Bu, aku lulus!” jawab Ryan dengan pasti sambil memberikan surat kelulusannya.

“Alhamdulilah nak, Ibu dan Ayah kan udah bilang! kamu pasti bisa! Ia kan? Haha.” ujar Ibu dengan sedikit canda. Mengingat kata-kata itu mereka pun tertawa mendengarnya.

 “Alhamdulilah nak kalau begitu, kamu udah nyelesain pendidikan SMA, kamu hebat!” saut Ayah dengan rasa bangganya.

“Tapi maaf ya nak, bukanya Ayah tidak ingin menyekolahkan kamu lagi ke jengjang yang lebih tinggi, tapi sekarang Ayah telah melebihi kemampuan untuk itu,” ucap Ayah dengan tiba-tiba, membuat suasana yang tadinya ceria menjadi hening.

“Bukannya Ayah membeda-bedakan atau kurang adil kepada kalian, tapi sekarang adik-adikmu dulu yang harus diperhatikan supaya bisa lulus dari pendidikannya, ya?” jelas Ayah kepada Ryan dengan penuh berat hati.

“Loh, kok, ngebahas kuliah?” jawab Ryan dengan terheran-heran.

“Aku ngerti kok, makannya Aku tidak membahas tentang kuliah, cukup sampai SMA aja kalian menanggung beban biaya pendidikanku. Setelah lulus dari SMA aku akan mencari pekerjaan untuk membantu kalian dan sisanya dijadikan tabungan nanti untuk melanjutkan kuliahku. Aku bisa!, Aku kan seorang laki-laki!, itukan perkataan kalian kepadaku waktu itu, percayakan? Aku bisa!” jelas Ryan dengan penuh percaya diri kepada Ayah dan Ibunya. Suasana pun menjadi semakin diam.

“Ia nak, kami yakin dan percaya Kamu pasti bisa. Tapi...” jawab Ayah yang terpotong perkataan Ryan.

“Udah, ngga ada tapi-tapian lagi kalau udah percaya dan yakin. Lagian waktu udah hampir magrib nih, nanti nggak kebagian solat magrib berjamaah, kan Ayah belum mandi tuh, haha,” jelas Ryan sambil canda dengan maksud mengalihkan percakapannya agar tidak membuat kedua orangtuannya bersedih.

Mereka pun mengakhiri obrolan di ruangan depan itu dengan membawa rasa prihatin di benak kedua orangtuanya.

Langit telah gelap dan jam menunjukan pukul sembilan malam, seluruh keluarga Ryan bersiap untuk tidur. Saat Ryan duduk dan berbaring di ranjang tempat tidurnya. Ia memikirkan hal yang terjadi seharian itu. Dia hanya mengingat dua perkataan yang selalu terbayang dan seolah-olah meyakinkan akan harapannya, yaitu perkataan Gurunya dan kedua Orangtuanya, dia yakin bahwa hal-hal yang dilakukannya saat ini akan membawa dampak terhada masa depannya nanti dan dia mencoba untuk melakukan hal-hal yang baik dan berguna dari sekarang, “Ya! Aku pasti bisa” kata hatinya dengan penuh rasa teguh. Ia berharap bahwa mimpinya dimalam ini bukan hanya sekedar mimpi indah melainkan kenyataan yang seindah mimpinya.

Pengarang : Ryan Riyadi

0 komentar :

Posting Komentar