“Apa yang sedang kalian lakukan saat ini adalah
ramalan yang akan menjadi kenyataan dimasa depan nanti, maka tentukanlah masa
depan kalian dari sekarang.” Ucapan seorang guru yang terus terpikir
dan rasa tak pasti yang mendatangkan resah bagi seluruh anak didiknya yang
telah bersiap membuka selembaran kertas kelulusan.
“Ingat nak, kamu pasti bisa.” Kata Ibu dan
Ayahnya itu yang selalu menusuk rongga dadanya. Disaat seperti ini kata
tersebut yang selalu teringat dan membuatnya terus percaya diri, karena ia
yakin bahwa kedua orangtuanya selalu memberi dukungan dan doa untuknya. Ryan
namanya seorang siswa kelas tiga sekolah menengah atas yang sedang bersiap
membuka surat kelulusan dengan penuh ragu dan rasa takut akan keinginan Ayah
dan Ibunya tidak dapat ia penuhi. Di tempatnya, keluarga Ryan merupakan keluarga
yang hidup pas-pasan, ayahnya bekerja sebagai buruh bangunan dan ibunya hanya
seorang ibu rumah tangga yang terkadang menyibukkan waktu luangnnya untuk mengais
rezeki dengan menjadi buruh cuci.
Penghasilan kedua orangtuanya yang tidak menentu membuat segala pembayaran di
sekolah sering menunggak, karena itu lulus dari SMA adalah harapan
pertamanya, ia ingin menghapuskan rasa
lelah kedua orangtuanya dalam membiayai pendidikannya.
Suasana lapangan
sekolah semakin sunyi dan para siswa tidak henti-hentinya memanjatkan doa.
“Seluruh anak
didikku, sebelum kita membuka hasil kelulusan, sebaiknya kita berdoa terlebih
dahulu, agar kita di berikan hasil yang memuaskan dan diberikan kesabaran, jika
hasil yang kita dapat tidak sesuai harapan.” Kata seorang guru kepada muridnya
yang membuat suasana semakin haru dan tegang. “Baik, dalam hitungan ketiga mari
kita buka sama-sama surat kelulusannya,” jelas seorang guru itu sambil
menghitung mundur. Semua siswa bersiap membuka hasil kelulusannya dengan
perlahan.
“Aku bisa, aku
bisa, lulus, lulus, bismilah,” ucap Ryan dalam hati sembari membuka surat
kelulusannya dengan tangan bergetar dan penuh harapan. Perlahan ia membuka
surat itu dan hanya tulisan hitam tebal yang ia perhatikan. “Lulus,
Alhamdullilah, Lulus!” kata Ryan dengan kaget dan penuh gembira, semua
teman-temannya saling mengucapkan selamat satu sama lain disertai sorak, tawa,
gembira, haru, dan sedih menyatu di lapangan itu. “Akhirnya, impian pertamaku
terwujud,” ucap Ryan dengan penuh syukur dan bahagia.
Kegiatan kelulusan
di sekolah pun berakhir, seluruh siswa bersalaman dengan semua guru pengajar.
Setelah pulang sekolah sebagian siswa merayakan kelulusan dengan mencoret-coret
seragam SMA mereka. Berbeda dengan Ryan, ia memilih segera bergegas pulang, ia
ingin sekali menyampakain kabar gembiranya itu kepada kedua orangtuanya.
Sesampainya di
depan rumah, ia dengan penuh percaya diri mengucapakan salam dan mengetuk pintu,
sedangkan Ayah dan Ibunya sedang asik ngobrol di ruangan depan.
“Assalamualaikum,”
kata Ryan sambil tidak sabar siapa orang pertama yang menjawab salam dan
mendengar kabar gembiranya.
“Wa’alaikumsalam,”
jawab seorang perempuan yang tidak lain ialah Ibunya sambil membukakan pintu.
“Eh, udah pulang
nak, kok baru datang udah senyum-senyum sih?” tanya Ibunya sambil tersenyum
heran dan menyuruh Ryan duduk.
“Hehe, ia Bu,
soalnya hari ini kan pembagian hasil kelulusan,” jawab Ryan dan langsung mencium
tangan Ibu dan Ayahnya.
“Terus gimana
hasilnya nak?” tanya Ibu dengan penasaran.
“Alhamdulilah
Bu, aku lulus!” jawab Ryan dengan pasti sambil memberikan surat kelulusannya.
“Alhamdulilah nak,
Ibu dan Ayah kan udah bilang! kamu pasti bisa! Ia kan? Haha.” ujar Ibu dengan
sedikit canda. Mengingat kata-kata itu mereka pun tertawa mendengarnya.
“Alhamdulilah nak kalau begitu, kamu udah
nyelesain pendidikan SMA, kamu hebat!” saut Ayah dengan rasa bangganya.
“Tapi maaf ya nak,
bukanya Ayah tidak ingin menyekolahkan kamu lagi ke jengjang yang lebih tinggi,
tapi sekarang Ayah telah melebihi kemampuan untuk itu,” ucap Ayah dengan
tiba-tiba, membuat suasana yang tadinya ceria menjadi hening.
“Bukannya Ayah
membeda-bedakan atau kurang adil kepada kalian, tapi sekarang adik-adikmu dulu
yang harus diperhatikan supaya bisa lulus dari pendidikannya, ya?” jelas Ayah
kepada Ryan dengan penuh berat hati.
“Loh, kok,
ngebahas kuliah?” jawab Ryan dengan terheran-heran.
“Aku ngerti kok,
makannya Aku tidak membahas tentang kuliah, cukup sampai SMA aja kalian
menanggung beban biaya pendidikanku. Setelah lulus dari SMA aku akan mencari
pekerjaan untuk membantu kalian dan sisanya dijadikan tabungan nanti untuk
melanjutkan kuliahku. Aku bisa!, Aku kan seorang laki-laki!, itukan perkataan
kalian kepadaku waktu itu, percayakan? Aku bisa!” jelas Ryan dengan penuh
percaya diri kepada Ayah dan Ibunya. Suasana pun menjadi semakin diam.
“Ia nak, kami
yakin dan percaya Kamu pasti bisa. Tapi...” jawab Ayah yang terpotong perkataan
Ryan.
“Udah, ngga ada
tapi-tapian lagi kalau udah percaya dan yakin. Lagian waktu udah hampir magrib
nih, nanti nggak kebagian solat magrib berjamaah, kan Ayah belum mandi tuh,
haha,” jelas Ryan sambil canda dengan maksud mengalihkan percakapannya agar
tidak membuat kedua orangtuannya bersedih.
Mereka pun
mengakhiri obrolan di ruangan depan itu dengan membawa rasa prihatin di benak kedua
orangtuanya.
Langit telah
gelap dan jam menunjukan pukul sembilan malam, seluruh keluarga Ryan bersiap
untuk tidur. Saat Ryan duduk dan berbaring di ranjang tempat tidurnya. Ia
memikirkan hal yang terjadi seharian itu. Dia hanya mengingat dua perkataan
yang selalu terbayang dan seolah-olah meyakinkan akan harapannya, yaitu
perkataan Gurunya dan kedua Orangtuanya, dia yakin bahwa hal-hal yang
dilakukannya saat ini akan membawa dampak terhada masa depannya nanti dan dia
mencoba untuk melakukan hal-hal yang baik dan berguna dari sekarang, “Ya! Aku
pasti bisa” kata hatinya dengan penuh rasa teguh. Ia berharap bahwa mimpinya
dimalam ini bukan hanya sekedar mimpi indah melainkan kenyataan yang seindah
mimpinya.
Pengarang : Ryan Riyadi
0 komentar :
Posting Komentar